Judul Buku : Bila Nurani Bicara: Pengalaman Spiritual Penghangat Jiwa
Penulis : Amelia Naim Indrajaya
Kegiatan melakukan pengamatan, merasakan, dan terlibat langsung dalam lingkungan merupakan pengalaman relatif tak ternilai bagi setiap orang. Bahkan kalau mampu menangkap peristiwa yang terjadi pada lingkungan sekitar sembari mengendapkannya ke alam bawah sadar kita dan lalu menuliskannya dari sisi spiritualitas makna, maka lahirlah suatu karya penggugah dan penghangat jiwa. Lahirlah suatu karya yang mampu menggetarkan sisi-sisi spiritualitas pembacanya.
Hal ini akan segera kita temui dan rasakan saat membaca buku Bila Nurani Bicara: Pengalaman Spiritual Penghangat Jiwa karya Amelia Naim Indrajaya. Uniknya melalui bukunya ini Amelia memperkenalkan kepada kita suasana kota kecil Boulder, Colorado di Amerika Utara lengkap dengan suasana lembah ngarai dan gunungnya (lewat visualisasi gambar). Buku yang kata pengantarnya disampaikan oleh Taufik Ismail ini akan memberikan kehangatan jiwa dan menyentuh perasaan pembacanya, seperti diinginkan Amelia penulisnya.
Pertama-tama Amelia menuturkan betapa dunianya seakan runtuh saat Dr. Zerrin (dokter di Mapleton Rehabilitation Center) memvonis anaknya mengalami disfungsi minimal otak. Bagaimana tidak menurut dokter anaknya akan mengalami disleksia, diskalkulia, disgrafia dan lain-lain kelainan persarafan. Sehingga untuk itu anaknya memerlukan terapi berkelanjutan. Terang saja hal ini membuatnya berontak seolah tak menerima takdir yang harus ditanggungnya. Namun belum lama dia menekuri nasib hidupnya, di klinik dia bertemu dengan sepasang keluarga dengan tiga anak yang mengalami Cerebral palsy. Kelainan yang menimbulkan gangguan pada motorik kasar, motorik halus dan gangguan bicara dan lain-lain gangguan. Tiga sekaligus, bukan satu, jadi Amelia masih lebih beruntung. Meskipun begitu keluarga dengan tiga anak yang mengalami cerebral palsy ini tetap tabah dan tulus merawat anak-anaknya. “Do you know that special kids are given to a special parents,” kata orangtua anak dengan cerebral palsy tadi dengn bangga menjadi orangtua spesial bagi ketiga anaknya yang spesial. Amelia pun tersadar bahwa memang special parents for special kids, seperti orangtua dengan anak cerebral palsy dan dirinya yang terpilih menjadi orang tua spesial karena anaknya mengalami disfungsi minimal otak--anak spesial.
Amelia juga menuturkan tentang pengalamannya di suatu musim gugur didatangi tamu petugas pelayanan sosial. Petugas ini mendatangi tempat tinggal Amelia karena mendapatkan laporan dari klinik anak kepunyaan Bolder County, bahwa anaknya sudah beberapa bulan berat badannya di bawah kurva normal. Petugas menyebut anaknya mengalami “failure to thrive” (gagal tumbuh—peresensi). “Bukannya kami curiga atau menuduh, tapi sudah merupakan peraturan di sini untuk memantau perilaku orangtua dalam mengasuh anaknya...memang prosedur baku kami dalam memastikan bahwa hak seorang anak di negara ini terpenuhi,” kata petugas, membuat Amelia merasa dicurigai tak becus dalam mengasuh anaknya. Anaknya harus masuk day care center yang ditanggung pemerintah (social service department). Dan ini yang membuatnya heran, seorang anak yang notabene sehat untuk menaikkan berat badannya menjadi normal akan disubsidi oleh negara lebih dari 1000 USD. Sebab baginya jika ini terjadi di Indonesia tentu akan menyebabkan negara bangkrut. Begitulah yang dialami Amelia di Boulder dengan anak “failure to thrive” harus mengikuti kursus parenting gratis, ikut serta dalam Support Group for Moms with Failure to Thrive Babies. Tapi akhirnya, anaknya menjadi bayi favorit di klinik dan menjadi kesayangan dokter. Lebih-lebih anaknya pada akhirnya menjadi cover boy buku teks “Baby Undernutrition”.
Tentang doa berantai, Amelia menceritakan dirinya yang mengalami alergi karena udara yang terlalu dingin. Tetangganya menawarkan alternatif untuk mengatasi alergi pada kulit tangan yang dideritanya. “Saya mempunyai kelompok doa yang sangat solid...Setiap kali kami menjumpai seseorang yang membutuhkan pertolongan dan doa, maka kami akan teruskan pada anggota kelompok lainnya. Kurang lebih seperti ini jalannya. Saya punya jaringan langsung pada sepuluh orang ibu. Masing-masing ibu punya jaringan lagi pada sepuluh orang lainnya. Demikian seterusnya. Jadi bila kamu mengizinkan, maka segera di seluruh negara bagian orang-orang akan ikut serta mendoakan unuk kesembuhan tanganmu,” demikian tetangganya menuturkan jalannya doa berantai. Mengingatkan Amelia tentang perlunya saling mendoakan dan memohonkan kepada Allah satu sama lainnya.
Masih banyak lagi cerita yang menghangatkan jiwa yang dipersembahkan Amelia buat para pembaca. Seluruhnya ada dua puluh bagian cerita terpisah. Menarik dibaca oleh orangtua, anak-anak remaja dan siapa saja yang tertarik dengan suguhan penghangat jiwa penggugah semangat. Kita tidak akan bosan membacanya. “Bahasanya terpelihara, pengamatannya teliti, dan empatinya halus,” kata Taufik Ismail mengantarkan buku ini.
“Hal-hal yang diungkapkannya mungkin terkesan sepele, sehari-hari, tapi tetap menarik, dan membawa perenungan tersendiri,”komentar Helvy Tiana Rosa senada dengan pernyataan Taufik Ismail.
Begitulah, cerita kehidupan dari seorang Amelia dari sebuah kota Boulder, Colorado, Amerika Serikat yang dingin. Lika-likunya—dan kedua putranya-- menyertai sang suami belajar di University of Colorado at Boulder.
Akhirnya, semilir angin lembah ngarai Colorado bertiup lamat-lamat mengalirkan kedamaian dan kebahagiaan ke relung hati keluarga Amelia dan suaminya Indrajaya Januar. Setelah penuh perjuangan mereka kembali ke tanah air. Tapi masih menyisakan kerinduannya pada alam Colorado.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar